“Setiap individu mempunyai keinginan untuk diterima sebagaimana adanya tanpa membedakan suku, agama, latar belakang sosial, ekonomi ataupun budaya.”

Case worker harus menerima kondisi klien apa adanya dengan latar belakang suku, agama, budaya, status sosial, ekonomi, disabilitas, orientasi seksual atau latar belakang masalah, sikap dan kepribadian yang berbeda-beda. Setiap individu itu unik dan berbeda satu sama lain. Demikian pula setiap klien memiliki keunikan, harga diri, martabat, pengalaman, kepribadian, kemampuan serta lingkungan hidup yang tidak sama.

Setiap individu dalam hal ini klien memiliki kebutuhan untuk mengekspresikan dan menampilkan perasaannya. Kemampuan mengendalikan emosi sangat bermanfaat agar klien merasa nyaman dan belajar untuk tidak larut dalam perasaannya (sedih, senang, marah dan emosi lainnya) karena menghadapi masalah”

Hal tersebut disampaikan : Dyanita Sihite dan  Fridolin Luruk, yang tampil sebagai Fasilitator Sesi Pertama, pada hari ketiga pelaksanaan Pelatihan Teknis Pelatih Penyedia Layanan Perlindungan Anak di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang diikuti oleh 22 (dua puluh dua) peserta, masing-masing :  Kota Kupang, TTS, Sikka, Manggarai, dan Sumba Barat Daya, juga peserta dari  Dinas Sosial Provinsi NTT, Dinas P dan K Provinsi NTT, DP3A Kota Kupang, Dinas Sosial Kota Kupang, DP3AP2KB Kabupaten Kupang, Perwakilan Guru dari SMA Negeri I Kupang dan SMA Negeri 6 Kupang, Tim Penggerak PKK Provinsi NTT, LPA Provinsi NTT, Sentra Effat Kemensos di Naibonat Kabupaten Kupang, LBH APIK, Rumah Harapan GMIT dan Rumah Perempuan, di Ballroom Sotis Hotel Kupang, Rabu, 21 Mei 2025.

Dua Pekerja Sosial (Peksos) dari Dinas Sosial Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Dinas Sosial Kota Kupang ini mengatakan : “Klien memiliki hak dan kebutuhan untuk membuat pilihan dan memutuskan sendiri. Klien juga memiliki hak untuk menerima atau menolak usul/nasehat yang diberikan, ungkap dua srikandi ini.

Ido, sapaan akrab dari Fridolin Luruk, menambahkan bahwa menjaga kerahasiaan klien selalu menjadi prioritas sesuai kesepakatan pada proses kontrak. Hal tersebut dapat membangun hubungan baik dan saling percaya dengan klien, yang membantu penanganan kasus menjadi efektif

Dian Sihite : “Case worker/pendamping harus berpedoman pada etika bekerja dengan publik dan media dengan memperhatikan potensi manfaat dan potensi risiko bagi kepentingan klien dan keluarga”, tegasnya menutup sesi pertama, dan selanjutnya materi kedua, ketiga dan keempat, disajikan oleh masing – masing : Kepala Seksi Pengaduan UPTD PPA DP3AP2KB Provinsi NTT, Jefry H. Aryandra dan Perwakilan LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) : Dani Manu, serta Kepala Bidang Perlindungan Khusus Anak (PKA) DP3AP2KB Provinsi NTT, France Abednego Tiran dan Visky Veronika kemudian Cendy Adam selaku Konsultan UNICEF NTB-NTT.

Sesi kedua, disampaikan materi berjudul : Membangun dan Mengembangkan Sistem Rujukan, Dani Manu mengatakan : “Sistem rujukan merupakan poin penting untuk mempertahankan keberhasilan penanganan kasus. Sistem rujukan adalah jaringan kerja sama antar berbagai penyedia pelayanan baik dari instansi pemerintah maupun lembaga non masyarakat yang dapat membantu klien dalam mencapai tujuan intervensi”, ujarnya.

Jefry menambahkan bahwa sistem rujukan perlu diperkuat dengan adanya lembar kesepakatan kerjasama/MoU ataupun Surat Keputusan Bupati/Walikota untuk tingkat Kabupaten/Kota yang memuat bentuk dukungan yang dapat diberikan oleh masing-masing pihak/instansi yang terlibat dalam penanganan kasus.

“Sistem rujukan diperlukan untuk menghubungkan klien dengan sistem sumber dalam rangka mencapai tujuan intervensi, ungkapnya.

Diakhir sesi kedua, Dani mengatakan bahwa pentingnya membangun dan mengembangkan sistem rujukan dikarenakan keterbatasan sumber daya dan jenis layanan yang dimiliki/disediakan oleh suatu lembaga layanan serta kompleksitas permasalahan yang ditangani, sehingga memerlukan dukungan dari lembaga lainnya.

“Eksistensi suatu lembaga layanan terjadi apabila lembaga tersebut memiliki hubungan yang baik dengan lembaga lain baik lembaga pemerintah, swasta atau masyarakat. Surat rujukan antar lembaga sudah harus dilampirkan seluruh informasi yang dibutuhkan oleh penerima rujukan”, pungkas Dani diamini oleh Jefry.

France Abednego Tiran, yang tampil pada sesi ketiga, menyajikan materi berjudul : Pencatatan dan Pelaporan dalam Manajemen Kasus, ia menjelaskan : “Cara melakukan pencatatan yang benar adalah    :

Jelas dan lugas. Kejelasan, ketepatan dan kelugasan dalam menggunakan kalimat akan membuat catatan kita lebih profesional. Upayakan tidak menulis catatan menggunakan kata yang tidak jelas dan bersifat umum. Gunakan kutipan. Apa yang dikatakan klien kemungkinan merupakan kata-kata yang sangat penting. Kita perlu memilah mana yang bermakna sangat penting dan informasi yang biasa. Untuk yang sangat penting, kiita perlu mengutipnya. Aturannya adalah dengan menuliskan secara tepat apa yang dikatakan oleh klien di dalam tanda kutip”, ujarnya ditambhkan juga oleh Visky Veronika sebagai Co-Fasilitator.

France menyatakan untuk Hindari kontradiksi, karena kemajuan yang kita tulis harus sinkron antara satu catatan dengan catatan lainnya.

“Bila ada hal-hal yang bertentangan atau berbeda, maka perlu menjelaskannya dalam catatan Dengan mencatat secara cermat, termasuk perubahannya, maka tidak akan ada celah yang memungkinkan pihak pembaca untuk menyimpulkan sesuatu yang ada di dalam dokumentasi. Gunakan bahasa yang dimengerti oleh klien dan keluarga. Catatan sebaiknya tidak menggunakan istilah-istilah akademik atau jargon karena ada saatnya klien atau orang yang penting dalam kehidupan klien (significant others) perlu membaca catatan kita”, urainya.

France mengingatkan bahwa ketika yang harus ditulis adalah klien atau pihak sekitar klien yang memiliki disabilitas, maka pastikan menggunakan istilah disabilitas yang tepat dengan bukti keterangan yang legal dan/atau melibatkan organisasi orang disabilitas, forum keluarga orang tua anak dengan disabilitas, dan Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) untuk memperkuat catatan dan laporan kita.

“Ketika melakukan kontak langsung dengan klien/keluarga perhatikan dan catat pula beberapa hal berikut ini: Penampilan klien, cara berpakaian, kondisi rumah dan lingkungannya, ekspresi wajah, bahasa tubuh, respon kepada orang lain atau terhadap kegiatan, sikap dan partisipasinya saat berinteraksi dengan case worker atau partisipasi dalam kegiatan yang disediakan untuk klien”, pungkas France Tiran.

Diakhir dari sesi ketiga, Visky Veronika menyajikan penjelasan penting terkait penggunaan akun SIMFONI (Sistem Informasi Online) Perlindungan Perempuan dan Anak, dimana ia menjelaskan ; “SIMFONI PPA merupakan sistem  informasi yang dikembangkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang digunakan untuk melakukan pencatatan dan pelaporan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di wilayah Indonesia, baik untuk warga negara indonesia maupun warga negara asing.

Visky menyampaikan bahwa SIMFONI PPA bekerja sama dengan instansi pemerintahan di setiap provinsi / kabupaten / kota sehingga aplikasi dapat diakses oleh semua unit layanan penanganan korban kekerasan perempuan dan anak dibawah  pada tingkat nasional meliputi provinsi / kabupaten / kota secara up to date.

“Hak akses SIMFONI PPA dapat di berikan kepada Instansi/Unit Layanan yang sudah terlatih. Admin memiliki kewenagan akses melihat data dari jejaringnya. Sedangkan operator hanya dapat mengakses data yang ada di unit layanan yang di tangani (atau di rujuk), namun operator dapat melakukan rujukan ke unit layanan yang lain”, tegas Visky menutup presentasi sesi ketiga.

Tampil pada sesi keempat hari ketiga pelatihan, adalah Cendy Adam, Konsultan UNICEF Perwakilan NTB-NTT, dengan menyampaikan materi tentang : Pengenalan Modul Pedoman Pelatihan Penyedia Layanan Perlindungan Anak.

“Modul ini dapat disimak dan dipelajari sebagai bahan referensi edukasi dan advokasi bagi semua lembaga penyedia layanan perlindungan anak, sekaligus sebagai pedoman bagi penguatan sistem perlindungan anak di setiap wilayah kerja dari bapak dan ibu”, ungkap Cendy.

Cendy menambahkan kepada setiap peserta pelatihan  untuk mempelajari modul tersebut, sebagai bahan ataupun referensi dalam rangka persiapan praktik fasilitasi yang akan dilaksanakan pada hari terakhir pelatihan. 

Perkuat Kolaborasi, Ciptakan Sistem Perlindungan Anak yang lebih Kuat, Tangguh, Sigap dan Responsif  didukung SDM Berkualitas”

“Ayo Bangun NTT. Salam BERLIAN – Bersama Lindungi Anak”

#kemenpppaRI
#deputipemenuhanhakanak
#deputibidangperlindungankhususanak
#deputibidangperlindunganhakperempuan
#dp3ap2kbprovinsintt
#dinassosialprovinsintt
#bidangpemenuhanhakanak
#bidangperlindungankhususanak
#bidangperlindunganperempuan
#unicef
#perlindungankhususanakkorbanbencana
#ayobangunntt
#menujuindonesiaemas
#MC_F@T
Bagikan kepada..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *