Pertemuan hari ini harus dijadikan media pembelajaran efektif dalam rangka penguatan kapasitas SDM untuk memberikan pelayanan bagi penyedia layanan Perlindungan Anak yang lebih berkualitas. Kenapa demikian? Karena anak-anak harus benar-benar kita siapkan sebagai Generasi Emas yang cerdas, sehat, kuat, dan berkarakter serta memilki masa depan, dan yang paling utama adalah Generasi Emas yang bebas dari berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan.
Perlu untuk selalu diingat bahwa komitmen terhadap Perlindungan Anak adalah tanggung jawab kolektif, yang harus dilakukan secara sinergis dan berkelanjutan”, demikian disampaikan oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur melalui Asisten III Sekretaris Daerah Provinsi NTT Bidang Administrasi Umum, Semuel Halundaka, S. IP, M. Si saat membuka kegiatan Pelatihan Teknis Pelatih Penyedia Layanan Perlindungan Anak di Provinsi Nusa Tenggara Timur, di Sotis Ballroom Sotis Hotel, Senin, 19 Mei 2025.
Mantan Sekretaris Dinas Kesehatan, Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi NTT juga mengajak semua peserta untuk menyatukan langkah dan memperkuat komitmen dalam menciptakan sistem perlindungan yang lebih baik dan lebih responsif. Ia mengatakan : “Kegiatan ini bukan hanya sebuah agenda rutin, tetapi wujud nyata dari kepedulian kita bersama terhadap masa depan perempuan dan anak yang merupakan generasi penerus bangsa.
Selanjutnya, Semuel Halundaka mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah menetapkan perlindungan perempuan dan anak sebagai prioritas nasional.

Beliau menyampaikan bahwa sebagai bagian dari komitmen global ini, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur telah menuangkan sasaran dan target dalam Rencana Pembangunan Daerah (RPD) 2024-2026. Salah satu pilar utama yang diangkat adalah : Terjaminnya kesetaraan gender dan perlindungan Anak, Disabilitas, dan Inklusi Sosial.”
“Kebijakan tersebut mencakup tiga strategi utama, yaitu: 1). Perluasan akses bagi kelompok perempuan dan disabilitas, agar mereka mendapatkan kesempatan yang setara dalam berbagai aspek kehidupan, 2). Perlindungan hukum dan sosial bagi kelompok perempuan dan disabilitas, sebagai bentuk pencegahan dan penanganan kekerasan serta pemberian jaminan keamanan bagi mereka, dan 3). Pemantapan perlindungan terhadap anak, melalui mekanisme yang terstruktur dan terstandar di seluruh wilayah NTT” jelas Halundaka.
Semuel Halundaka menyampaikan melalui strategi ini, diharapkan pada tahun 2025, sebanyak 95% kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat ditangani sesuai dengan standar yang berlaku.
“Tantangan besar masih menghadang. Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi NTT mengalami peningkatan. Tahun 2023 mencatat lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 1.026 kasus dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kasus kekerasan terhadap anak juga terus bertambah dari 275 kasus pada tahun 2021 menjadi 647 kasus pada tahun 2024.
Situasi ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan. Tidak semua kabupaten di NTT telah memiliki Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Selain itu, ketersediaan sumber daya manusia yang bertugas dalam layanan perlindungan juga bervariasi, baik dalam jumlah maupun kompetensi. Kita perlu memastikan bahwa penyedia layanan perlindungan perempuan dan anak memiliki kapasitas yang memadai untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat”, kata Halundaka.
Semuel Halundaka mengatakan : “Ada dua sasaran utama yang akan dicapai melalui kegiatan pelatihan yaitu: 1). Menyediakan tenaga pelatih di tingkat provinsi, yang nantinya akan melaksanakan peningkatan kapasitas penyedia layanan perlindungan perempuan dan anak di tingkat kabupaten/kota dan 2). Meningkatkan pemahaman dan keterampilan penyedia layanan perlindungan perempuan dan anak, mengenai prosedur standar penanganan kekerasan multisektor sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan”, pungkas Halundaka menutup sambutannya mewakili Gubernur NTT.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) RI, Dr. Ir. Pribudiarta Nur Sitepu, MM, mengatakan : “Masih banyak anak-anak yang menghadapi berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Sebagai catatan, berdasarkan Survey Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR)”, jelasnya.
Ia menyampaikan bahwa di Tahun 2024 diketahui bahwa 11,5 juta anak atau 50.78 % anak usia 13-17 tahun di Indonesia pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya. Selanjutnya prevalensi kekerasan pada anak usia 13 -17 tahun tercatat 9 dari 100 atau 8,57% pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan seksual atau lebih sepanjang hidupnya, 18 dari 100 atau 18,47% anak laki-laki dan anak perempuan pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan fisik atau lebih sepanjang hidupnya, dan 45 dari 100 atau 45,43% anak laki-laki dan anak perempuan pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan emosional atau lebih sepanjang hidupnya.
“Data-data di atas menunjukan bahwa Lembaga dan Unit Penyedia Layanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK) termasuk di dalamnya Unit Penangan Kasus di Satuan Pendidikan dan UPTD PPA setiap harinya menghadapi kasus-kasus kekerasan kepada anak dalam jumlah yang sangat besar dan beragam. Oleh karenanya, tuntutan kepada SDM Layanan yang ada harus memiliki kecakapan dan pemahaman serta keterampilan yang komprehensif terkait isu perlindungan anak menjadi wajib dipenuhi. Kasus kekerasan kepada anak bila terjadi tentu tidak hanya berdampak kepada anak, namun juga reputasi Lembaga Perlindungan Anak tersebut”, Jelas Pribudiarta.
Pribudiarta yang juga adalah Deputi Pemenuhan Hak Anak KPPPA menyatakan bahwa yang menjadi tantangan adalah bagaimna menjadikan Lembaga Perlindungan Anak sebagai tempat yang aman dan nyaman untuk anak-anak dapat berproses menjadi pribadi yang lebih baik dan peran Penyedia Layanan Perlindungan Anak menjadi sangat krusial dalam memastikan hak-hak anak terpenuhi dan masa depan mereka terlindungi.
“Untuk meminimalisir risiko terjadinya kekerasan kepada anak serta memastikan pemenuhan hak dan perlindungan khusus bagi AMPK, setiap SDM di Lembaga/unit penyedia layanan bagi AMPK perlu diberikan penguatan kapasitas dengan memberikan pemahaman terkait perlindungan khusus anak melalui Pelatihan Pelatih Penyedia Layanan Perlindungan Anak, sehingga SDM yang terlatih dapat memperoleh sertifikasi sebagai SDM Penyedia Layanan bagi AMPK yang Ramah Anak”, tegas Pribudiarta menutup sambutannya.
Pada bagian lain, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTT, Ruth D. Laiskodat, S.Si, Apt, MM, dalam sambutannya mengatakan : “Kepada para peserta, saya berharap dapat mengimplementasikan ilmu yang diperoleh melalui pelatihan ini, guna memperkuat sistem perlindungan perempuan dan anak di daerah masing-masing”, ungkap Ruth Laiskodat, yang didampingi oleh Kepala Bidang Perlindungan Perempuan DP3AP2KB Provinsi NTT, yang juga sebagai Fasilitator, Dr. Nikolaus Kewuan, Kepala Bidang Perlindungan Khusus Anak (PKA) DP3AP2KB Provinsi NTT, France Abednego Tiran, Jefry H. , Aryandra selaku Kepala Seksi Pengaduan UPTD PPA DP3AP2KB Provinsi NTT, Analis Kebijakan Ahli Muda Bidang PKA, Japlina E. B. Lay, Cendy Adam selaku Konsultan UNICEF NTB-NTT, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi NTT, Veronika Ata, Perwakilan LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) : Dani Manu, Penata Kelola Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada Bidang Perlindungan Perempuan DP3AP2KB Provinsi NTT, Christin Dessy Natalia dan Visky Veronika, serta Pekerja Sosial (Peksos) dari Dinas Sosial Provinsi NTT : Y Dyanita Sihite dan Peksos Dinas Sosial Kota Kupang : Fridolin Luruk.
Mantan Inspektur Provinsi NTT ini juga menyampaikan apresiasi kepada UNICEF Perwakilan Provinsi NTB – NTT : “Kegiatan ini tidak akan terlaksana tanpa dukungan dari UNICEF, yang selama ini telah berperan aktif dalam meningkatkan kapasitas tenaga pelatih dan memperkuat mekanisme perlindungan perempuan dan anak di Indonesia. Semoga sinergi ini dapat terus berkembang demi kesejahteraan generasi masa depan”, harap Laiskodat.
Pada awal acara pembukaan, Kepala Perwakilan UNICEF NTB – NTT, Yudhistira Yewangoe mengatakan bahwa perlindungan anak di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah hal yang tidak bisa ditunda, dan kita semua ingin menjadi bagian dari solusinya.
“Kekerasan terhadap anak dan perempuan adalah kenyataan pahit yang masih sering terjadi, bahkan di lingkungan terdekat kita. Pemerintah Indonesia telah menegaskan komitmennya untuk mencapai SDGs 16.2, yaitu mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap anak pada tahun 2030.
Jujur kita harus akui bahwa sistem perlindungan Anak yang kita miliki belum cukup kuat, belum cukup merata, dan belum cukup dipercaya.
Yudhistira Yewangoe juga memaparkan beberapa kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di NTT : “Di Kupang, lima anak bersaudara berusia antara 3 hingga 9 tahun menjadi korban pencabulan oleh paman kandung mereka, masih di Kupang, tiga remaja laki-laki mengalami kekerasan seksual sejak tahun 2021 oleh seorang guru seni dan dua pelaku lainnya, di Ngada, mantan Kapolres diduga melakukan kekerasan seksual terhadap anak dan menyebarkan videonya ke situs pornografi luar negeri, di Sabu Raijua, seorang guru SMP diduga mencabuli lebih dari lima siswi di sekolah tempat ia mengajar”, urai Yewangoe.
Ia mengatakan bahwa dari empat kasus ini mencerminkan pola yang serupa, yaitu : Banyak yang terungkap bukan karena kekuatan sistem formal, tetapi karena keberanian korban, keluarga, atau dorongan publik.
“Kasus Kupang terungkap setelah anak mengeluh sakit kepada orang tuanya, di Sabu Raijua, kasus baru diketahui setelah viral di facebook, di Ngada, laporan justru datang dari Kepolisian Australia melalui interpol. Hal ini sangat mengkhawatirkan. Artinya, kita belum memiliki mekanisme pelaporan dan dukungan yang benar-benar kuat, mudah diakses, dan dipercaya oleh masyarakat”, jelas Yewangoe.
Yudhis mengatakan bahwa banyak keluarga tidak tahu harus ke mana melapor. Banyak korban takut atau tidak yakin akan dilindungi. Dan dalam beberapa kasus, laporan terlambat karena tidak ada tempat aman untuk berbicara.
“Inilah mengapa pelatihan seperti ToT hari ini menjadi sangat penting”, pungkas Yudhis menutup sambutannya sambil berharap melalui pelatihan dapat membangun jejaring pelindung yang terdiri dari tenaga terlatih, lembaga responsif, dan sistem yang peka terhadap kebutuhan korban.
Hadir sebagai peserta pelatihan adalah dari lima wilayah fokus, masing-masing : Kota Kupang, TTS, Sikka, Manggarai, dan Sumba Barat Daya, juga peserta dari Dinas Sosial Provinsi NTT, Dinas P dan K Provinsi NTT, DP3A Kota Kupang, Dinas Sosial Kota Kupang, DP3AP2KB Kabupaten Kupang, Perwakilan Guru dari SMA Negeri I Kupang dan SMA Negeri 6 Kupang, Tim Penggerak PKK Provinsi NTT, LPA Provinsi NTT, Sentra Effat Kemensos di Naibonat Kabupaten Kupang, LBH APIK, Rumah Harapan GMIT dan Ruma Perempuan, dengan total peserta yang mengikuti kegiatan pelatihan sebanyak 22 orang, dan mengikuti kegiatan sampai dengan Jumat, 23 Mei 2025.
“Ayo Bangun NTT. Salam BERLIAN – Bersama Lindungi Anak”
#kemenpppaRI
#deputipemenuhanhakanak
#deputibidangperlindungankhususanak
#deputibidangperlindunganhakperempuan
#dp3ap2kbprovinsintt
#dinassosialprovinsintt
#bidangpemenuhanhakanak
#bidangperlindungankhususanak
#bidangperlindunganperempuan
#unicef
#perlindungankhususanakkorbanbencana
#ayobangunntt
#menujuindonesiaemas
#MC_F@T